Selamat Datang di Portal Pendidikan

Mereka Lebih Layak Dipanggil Ustadz

Boleh jadi tampilannya biasa-biasa saja. Tak ada yang istimewa. Bahkan teramat sederhana. Pakaiannya tak semahal para trainer yang gagah dengan stelan jas, kemeja couple, dasi, celana eksklusif, dan sepatu pantofel. Tak ada daftar mengisi acara yang didokumentasikan sedemikian rupa, juga foto-foto keren di berbagai ajang pelatihan bergengsi, apalagi curriculum vitae yang mengumbar segala keistimewaannya.
Tak ada decak kagum dan tepuk tangan meriah di depan forum, tak ada slide PowerPoint keren, apalagi musik pengiring suasana agar terasa lebih istimewa.
Tak ada semua itu.

Yang terbayang di benak saya adalah senyumnya yang ramah, tutur katanya yang sopan, sikapnya yang santun dan bijaksana. Beliau salah satu guru terbaik saya di sudut bumi persada ini, di pelosok negeri, sebuah kampung pinggir gunung, jauh dari hiruk pikuk kota metropolitan. Ustadz Nurman namanya, guru ngaji saya saat kecil hingga hari ini, juga seterusnya.
Tak perlu banyak laga, karena kiprahnya mengajar anak-anak desa tanpa balas jasa. Apalagi minta bayaran dari kegiatannya mengajarnya. Tidak. Tidak ada permintaan itu selain ikhlas di dalamnya.
Seperti yang dibutuhkan masyarakat hari ini, bukan rentetan prestasi dari seorang dai yang dibutuhkan, bukan gelar pendidikan yang mentereng, bukan pengalaman mengisi training di berbagai lembaga, apalagi curriculum vitae yang mengada-ada. Bukan. Bukan itu yang dibutuhkan umat ini. Tapi adalah ketulusan dalam berjuang, ikhlas memberi pemahaman yang benar kepada masyarakat.
Mereka mengelola pengajian bapak-bapak sepekan sekali, mengkondisikan majelis taklim ibu-ibu, dan membina remaja agar tak salah gaul. Mereka menjadi pelopor perbaikan masyarakat di kampungnya. Mereka ikhlas tanpa minta imbalan. Padahal sebagian di antaranya masih kekurangan dalam urusan dapur keluarganya. Tapi mereka rela meluangkan waktunya untuk perbaikan umat.
Tentu masih banyak guru-guru mengaji di berbagai belahan negeri, di kota maupun di desa, di kampung-kampung sederhana. Mereka tak pernah tak pernah di sorot media, diberitakan sebagai orang hebat, dibanggakan kiprahnya, dihargai jerih payahnya. Ya, mereka tak pernah di ekspos ke publik melalui majalah, koran, apalagi telivisi. Dan memang mereka tak memikirkan itu, tak tertarik dengan berbagai sarana yang membuat niatnya jadi keliru.
Sungguh, guru-guru ngaji itu, mengajar anak-anak selepas mereka lelah bekerja, bertani, berdagang, berladang, atau sebagiannya ada yang jadi tukang ojek. Sore hari, di tengah kelelahannya, saat keletihannya butuh istirahat, mereka masih melayani anak-anak untuk belajar membaca, memahami, dan mengamalkan al-Qur’an. Diajarinya anak-anak dengan sabar, lembut, dan penuh perhatian tanpa minta imbalan balas jasa dan harta.
Sungguh, mereka lebih layak dipanggil ustadz daripada diri kita yang mengaku-ngaku sebagai ustadz tapi tanpa kontribusi nyata untuk umat.
Sungguh, guru-guru ngaji itu lebih layak dihargai daripada kita yang seringkali takabur karena berbagai prestasi, yang sejatinya tak memberi manfaat apa-apa pada masyarakat.
Ah, sungguh diri ini merasa kerdil di hadapan manusia-manusia agung yang takut pada Rabbnya, tulus perjuangannya, dan ikhlas amalannya.
Saudaraku, mari jujur pada diri sendiri. Kita belajar, berusaha, dan berjuang untuk siapa? Bila untuk Allah, maka berbahagialah segala ikhtiar yang dilakukan. Semoga para guru ngaji mendapat kebarakahan hidupnya di dunia dan akhirat. Juga barakah tercurah untuk kita yang merindukan kebaikan.
Aamiin.

(sumber : sabiliku.com)
Share this post :

Post a Comment

Statistik Blog

Pengumuman

Pengumuman
 
di Share Oleh : Bambang Setiawan | Wong Matematika | sman 1 Cipari
Copyright © 2015. SMAN 1 CIPARI - All Rights Reserved
Template by Wong Pacitan Modified by MR-BeBe
Proudly powered by Blogger