Reformasi Ujian Nasional (UN)
Ujian Nasional (UN) atau EBTANAS pada masa lampau telah menempuh perjalanan panjang dalam perubahan kebijakan pendidikan di Indonesia. Dilihat sesaat tampak UN mengalami kemajuan yang signifikan. Jika mula-mula UN hanya menggunakan satu macam soal, maka pada tahun lalu (2010) menggunakan dua set soal , yaitu set soal A dan set Soal B. Penggunaan dua set soal ini memiliki tujuan untuk menekan angka kecurangan pelaksanaan UN.
Kecanggihan penanganan juga tampak dengan adanya pengawas independen dari perguruan tinggi. Ruang gerak kecurangan pelaksanaan UN makin diperkecil dengan pengeleman sampul lembar jawab yang dilakukan oleh pengawas ujian di ruang dan lembar jawab diserahkan ke Komda melalui kurir khusus. Barangkali pengamanan ekstra ketat tersebut masih dianggap kurang, maka selama pelaksanaan UN dihadirkan pula aparat kepolisian. Sungguh luar biasa!
Penanganan UN super ketat tersebut tampaknya dianggap masih kurang, sehingga dalam pelaksanaan UN tahun 2011 banyaknya set soal UN ditingkatkan menjadi 5 set soal. Dengan demikian ada set soal A, B, C, D, dan E. Hal ini tentu makin memusingkan para pelaku kecurangan UN. Penanganan UN super ketat tersebut pada akhirnya menimbulkan kegamangan dan keresahan masyarakat yang pada dasarnya kurang siap menerima resiko gagal dalam pelaksanaan UN.
Merasa peluang melakukan kecurangan UN sangat kecil, maka beberapa pihak merasa perlu melakukan reformasi UN dengan memunculkan opini bahwa UN tidaklah tepat jika digunakan untuk mengukur keberhasilan belajar siswa. Opini ini menguat luar biasa hingga masuk ke ranah hukum, hingga terbitnya keputusan Mahkamah Agung (MA) terkait UN.
Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) selaku arsitek pendidikan memutar otak demi tetap terselenggarakannya UN. Mengapa demikian? Sebab sekali UN ditiadakan, maka akan sulit untuk memunculkan kembali pada masa yang akan datang. Maka terjadilah tawar menawar menggelikan tentang UN. Orang awam di bidang pendidikan berbantah dengan para pakar pendidikan. Hasilnya cukup menggelikan, akal kalah oleh okol (Kekuatan fikir dan ilmu kalah oleh kekuatan fisik) demikian kata orang jawa. Para pakar pendidikan terpaksa mengaku kalah alias mengalah demi momong bangsa yang memang belum ngakal, maka kriteria kelulusan tahun 2011-pun harus dirombak total.
Kesuksesan Semu UN 2011.
Dalam pandangan penulis, perombakan kriteria kelulusan memberikan pengaruh signifikan mengecilkan peran UN dalam standarisasi mutu pendidikan. Kriterian kelulusan tahun 2011 ditentukan oleh rata-rata nilai raport (semester 3, 4, dan lima), nilai Ujian Sekolah (US), dan nilai Ujian Nasional (UN). Nilai Sekolah (NS) diperoleh berdasarkan 0,4 kali rata-rata raport ditambah 0,6 kali nilai ujian sekolah. Nilai Akhir (NA) diperoleh berdasar 0,4 NS ditambah 0,6 UN. Seorang siswa dapat lulus jika rata-rata NA lebih dari atau sama dengan 5,5 dan tidak ada NA di bawah 4,0.
Berdasarkan hitung-hitungan matematik yang dilakukan penulis, ternyata seorang peserta UN yang mendapatkan nilai UN 2,0 tetap bisa lulus. Hasil ini bagi penulis merupakan sesuatu yang menggelikan. Dalam teori statistik, sebuah soal tes berbentuk pilihan ganda dengan lima alternatif pilihan memberikan peluang pada peserta tes yang tidak pernah pelajar sekalipun akan mampu mendapatkan nilai 2,0.
Tentu selanjutnya akan timbul tanda tanya. Lho, kok bisa lulus? Tentu saja bisa! Nilai raport itu sifatnya relatif. Nilai raport menjadi bersifat semu karena tekanan akreditasi sekolah yang memasukkan nilai ketuntasan belajar minimum, angka jumlah siswa tuntas dan angka tinggal kelas. Bagi sekolah yang tidak ingin nilai akreditasinya turun akan menekan guru untuk melakukan pembelajaran remedial hingga seluruh siswa mencapai nilai tuntas.
Mengingat beban kerja guru sekarang cukup besar (minimal 24 jam mengajar per minggu), masih dibebani menyusun analisis kurikulum, analisis nilai ketuntasan minimum, menyusun silabus, menyusun kisi-kisi soal, menyusun soal, melakukan analisis terhadap hasil belajar siswa dan tugas tambahan lain, maka tugas melaksanakan pembelajaran remedial menjadi sebuah tugas yang terasa amat membebani. Pembelajaran remedial pertama mungkin masih obyektif dan terstandar, tetapi pembelajaran remedial kedua dan ke tiga bisa jadi hanya sebuah formalitas belaka. Sudah barang tentu bias pada nilai raport tidak mengenai seluruh siswa,tetapi justru mengenai siswa-siswa yang memang bermasalah dan barang kali memang tidak layak untuk lulus ujian nasional.
Lalu bagaimana dengan US ? Hasil US dikoreksi sendiri oleh sekolah. Korektor US mengalami tekanan psikis luar biasa untuk menjaga nama baik sekolah. Kelulusan merupakan pertaruhan luar biasa terhadap nama baik sekolah. Masyarakat hampir selalu menilai kualitas sebuah sekolah berdasarkan prosentase kelulusan. Dengan alasan ini, maka sangat jarang korektor US yang berani memberikan nilai apa adanya pada hasil US siswa. Dengan alasan ini pula, maka nilai US tidak dapat menjadi pegangan standarisasi hasil belajar bagi siswa yang bermasalah dalam menguasai materi pembelajaran. Dengan demikian satu-satunya harapan untuk mendapatkan nilai valid terhadap hasil belajar peserta didik adalah UN. Tapi apa boleh dikata, scientific force telah dikalahkan oleh social force, biarlah UN menyimpan taringnya untuk sementara.
Mengembalikan Netralias UN.
Landasan filosofi UN telah babak- belur, dan terkapar tak berdaya menghadapi keperkasaan kekuatan sosial. Jika UN ingin bangkit, maka ada satu pantangan yang harus ditaati. Jangan rugikan kekuatan sosial ! Bagaimana caranya ? Jangan kaitkan UN dengan kelulusan sebagaimana pernah terjadi di masa lampau. Dengan demikian kejayaan UN akan tumbuh, bahkan nilai murni UN menjadi nilai kebanggaan seluruh peserta UN. (by. Darto, S.Pd.)
Post a Comment