Dalam rangka meningkatkan otonomi yang lebih luas kepada daerah, pemerintah dalam hal ini Depdiknas telah merintis otonomi pendidikan. Rintisan otonomi pendidikan tersebut tertuang dalam kebijakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Dalam KTSP pemerintah selaku penanggungjawab pendidikan menetapkan standar kompetensi lulusan SKL. dan standar Isi (SI). SKL tersebut meliputi SKL Satuan Pendidikan, SKL Kelompok Mata Pelajaran, dan SKL Mata Pelajaran (SKL Mapel). SKL Mapel selanjutnya dijabarkan dalam Standar Kompetensi Mata Pelajaran (SK Mapel). SK Mapel selanjutnya dijabarkan menjadi Kompetensi Dasar (KD) mapel. Sampai di sini campur tangan pemerintah berhenti. Karena SKL hingga KD ditetapkan pemerintah, maka sudah selayaknya jika pemerintah menguji tingkat ketercapaiannya melalui Ujian Nasional (UN) pada mapel yang dianggap krusial. Untuk mapel yang dianggap tidak krusial pemerintah menyerahkan pengujiannya kepada satuan pendidikan/sekolah.
Bila SI, SK dan KD sudah ditetapkan pemerintah, lantas apa peran satuan pendidikan/satdik dan guru dalam KTSP. Guru berperan menentukan materi palajaran, alokasi waktu, indikator ketercapaian kompetensi dasar, sumber belajar, proses pembelajaran dan melaksanakan tes formatif, sub-sumatif, maupun sumatif.
Tes yang dilakukan oleh guru bukanlah tes akhir (finnaling test), melainkan sekedar tes persiapan (preparing test). Setelah preparing test guru akan mengetahui tingkat kesiapan siswanya untuk menghadapi Finnaling test oleh pemerintah melalui Ujian Nasional (UN).
Namun demikian perlu kita sadari bahwa jarak antara preparing test dan finnaling test sangatlah panjang. Jarak tersebut dapat mecapai rentang waktu 3 tahun untuk materi kelas 10 di tingkat SLTA. Dalam rentang waktu tersebut hampir dapat dipastikan siswa lupa, akibatnya seolah-olah ada kesenjangan yang sangat jauh antara hasil preparing test dengan finnaling test. Kesenjangan ini memunculkan image yang salah tentang guru. Selanjutnya guru yang mengajar dianggap tidak profesional dan tidak kompeten. Dan yang lebih parah ada penilaian bahwa sertifikasi guru telah gagal memberikan sumbangan dalam mengangkat martabat pendidikan di tanah air.
Kesenjangan yang cukup besar itulah yang kemudian memunculkan tindakan-tindakan negatif terkait pelaksanaan UN yang didorong oleh pragmatisme peserta dan pelaksana UN/sekolah. Untuk memperkecil kesenjangan yang terjadi sebaiknya finnaling test/UN dilaksanakan secara berkesinambungan setiap akhir semester. Mengingat ujian akhir semester telah mendapatkan alokasi dana dari sekolah, dengan demikian UN yang dilaksanakan setiap akhir semester tidak ada masalah ditinjau dari sisi pendanaan.
Jika UN dilaksanakan pada akhir semester, terdapat peningkatan lembar jawab yang harus dikoreksi sebanyak tiga kali lipat dari jumlah lembar jawab yang biasa dikoreksi panitia UN tingkat propinsi. Di sini terdapat permasalahan ketersediaan waktu untuk mengoreksi dan masalah pengiriman lembar jawab. Kendala ini dapat diatasi jika masalah koreksi diserahkan kepada panitia UN tingkat kabupaten, apalagi sumber daya manusia (SDM) sebagai operator mesin koreksi sudah tidak menjadi kendala bagi hampir semua kabupaten.
Berdasarkan uraian di atas kita menemukan bahwa pelaksanaan UN sebaiknya diubah dari akhir jenjang pendidikan menjadi akhir semester. Hal ini perlu dilakukan untuk mengeliminir dampak dan pandangan negatif tentang UN. (by. Darto, S.Pd.)
Post a Comment